Traumatic Brain Injury (TBI) atau lebih dikenal dengan sebutan cedera otak traumatis adalah gangguan fungsional otak yang diakibatkan benturan pada kepala yang dapat menyebabkan gangguan fungsi otak ( Brazinova et al., 2015 ). Secara global, jumlah pasien cedera otak traumatis setiap tahun diperkirakan 1,5–2 juta, setengah dari pasien meninggal dan telah diprediksi menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia pada tahun 2020 (Goyal et al., 2018). Angka kejadian cedera otak traumatis di Indonesia menurut data Riskesdas 2018 mencapai 11,9% korban. Data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa trauma kepala di Indonesia sering terjadi pada pasien anak yang usianya > 1 tahun (50%), dan usia antara 15-44 tahun yaitu usia sekolah dan produktif (33,7%).
Cedera kepala (head injury) yang secara langsung maupun tidak langsung mengenai kepala akan mengakibatkan luka pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala (head injury) dapat menimbulkan berbagai kondisi, dari gegar otak ringan, koma, sampai kematian; kondisi paling serius disebut dengan istilah cedera otak traumatik (Traumatik Brain Injury [TBI]). Penyebab paling umum Traumatic Brain Injury (TBI) adalah jatuh (28%), kecelakaan kendaraan bermotor (20%), benturan dengan benda padat (19%), dan perkelahian (11%). Kelompok beresiko tinggi mengalami Traumatic Brain Injury (TBI) adalah individu yang berusia 15-19 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1. Individu yang berusia 75 tahun atau lebih memiliki angka rawat inap (hospitalisasi) dan kematian Traumatic Brain Injury (TBI) tertinggi (Brunner & Suddart, 2016).
Komplikasi neurologis yang paling umum terjadi adalah kejang, stroke, infeksi, hidrosefalus dan edema serebral. Sedangkan untuk komplikasi non-neurologis yang paling umum adalah pneumonia, infark miokard, Ards, vascular thrombosis vena, delirium, dan ulkus dekubitus yang didapat di rumah sakit (Dash, 2018). Adanya penyakit penyerta dan penurunan GCS terkait dengan faktor risiko kedua jenis komplikasi tersebut. Komplikasi neurologis dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi daripada komplikasi non- neurologis. Ventilasi mekanis adalah faktor yang paling mempengaruhi komplikasi neurologis dan non-neurologis (Omar, et al., 2017)
Hingga saat ini belum ada terapi pengobatan yang dinyatakan benar-benar efektif untuk Traumatic Brain Injury (TBI). Menurut Dewi Yulianti Bisri (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif Setelah Cedera Otak Traumatik” menyatakan bahwa sampai saat ini tidak ada terapi untuk cedera otak otak primer dan terapi yang dilakukan adalah mengurangi cedera sekunder yang dipicu oleh cedera primer sehingga secara umum tetap menggunakan neuroanestesi/neuroresusitasi dan secara khusus dengan pemberian infus lindokain, nantrium laktat hipertonik, obat kholinergic, catecholaminergic, serta tricyclic antidepressants.
Melihat keterbatasan ini, terus berkembang berbagai penelitian metode pengobatan untuk Traumatic Brain Injury (TBI) salah satunya terapi stem cell. Otak yang mengalami cedera memerlukan regenerasi dan perbaikan sel saraf yang mengalami kerusakan. Transplantasi stem cell diketahui mampu meningkatkan proliferasi sel endogen dan menginduksi regenerasi sel saraf yang belum matang pada daerah sekitar cedera. Hal ini menjadi peluang besar dan dan harapan baru untuk pengobatan Traumatic Brain Injury, khususnya memperbaiki kerusakan akibat cedera (Gage & Temple, 2013).
Salah satu jenis stem cell yang umumnya digunakan dalam pengobatan Traumatic Brain Injury ini adalah Mesenchymal Stem Cell (MSCs). MSCs merupakan sel multipotent yang dapat diisolasi dari berbagai sumber diantaranya sumsum tulang, jaringan tali pusat, jaringan lemak, plasenta dan pulpa gigi. MSCs diketahui memiliki kemampuan untuk memperbarui diri dan berdiferensiasi menjadi berbagai macam jeis sel, salah satunya adalah sel saraf (Dominici, 2006).
Efek terapeutik MSCs dalam kaitannya regenerasi sel saraf pasca cedera ini melalui mekanisme potensi dalam memodulasi respons inflamasi dan mengeluarkan faktor neurotropik yang mendorong neurogenesis dan angiogenesis, memperpanjang kelangsungan hidup dan menghambat jalur apoptosis, sehingga meningkatkan neuroplastisitas melalui pertumbuhan serabut saraf. Karena kemampuannya ini, MSCs telah terbukti meningkatkan pemulihan neurologis pada beberapa model cedera SSP, termasuk TBI (Hasan et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Brazinova A, Mauritz W, Majdan M, Rehorcikova V, Leitgeb J. 2015. Fatal traumatic brain injury in older adults in Austria 1980–2012: an analysis of 33 years. Age Ageing. 44:502–506.
Brunner, & Suddarth. 2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Dewi Yulianti Bisri, T. B. 2015. Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik Prevention and Management of Cognitive Dysfunction after TBI. JNI. 3(1), 37– 47.
Dominici, M.; Le Blanc, K.; Mueller, I.; Slaper-Cortenbach, I.; Marini, F.; Krause, D.; Deans, R.J.; Keating, A.; Prockop, D.J.; Horwitz, E. 2006. Minimal criteria for defining mul-tipotent mesenchymal stromal cells. The International Society for Cellular Therapyposition statement. Cytotherapy. 8 : 315–317.
- H. Gage and S. Temple. 2013. Neural stem cells: generating and regenerating the brain. Neuron. 80 : 588–601.
Goyal, K., Hazarika, A., et al. 2018. Non-neurological complications after traumatic brain injury: A prospective observational study. Indian Journal of Critical Care Medicine. 22(9), pp. 632–638.
Hasan, A.; Deeb, G.; Rahal, R.; Atwi, K.; Mondello, S.; Marei, H.E.; Gali, A.; Sleiman, E. 2017. Mesenchymal Stem Cells in the Treatment of Traumatic Brain Injury. Front. Neurol. 8 : 28.
Omar, M. et al. 2017. Complications following hospital admission for traumatic brain injury: A multicenter cohort study. Journal of Critical Care. 41 : 1–8.
Riskesdas. 2018. Kementrian Kesehatan Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan.
Riskesdas. 2007. Kementrian Kesehatan Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan.