Kesuksesan penggunaan darah tali pusat pada tahun 1988 untuk penderita Fanconi’s anemia, telah memberikan harapan baru bagi dunia kesehatan dan menjadi alternatif lain dari penggunaan sumsum tulang untuk terapi berbagai macam penyakit. Kesuksesan tersebut juga didukung oleh penelitian dan uji klinik darah tali pusat pada aplikasi klinis. Adanya aplikasi klinis darah tali pusat tidak terlepas dengan karakter biologi dan imunologi darah tali pusat itu sendiri, proses pengambilan, standar penyimpanan, regulasi yang berlaku serta masalah etik yang terkait.
Dibandingkan dengan sumsung tulang, penggunaan darah tali pusat untuk terapi memiliki beberapa keunggulan, antara lain langsung tersedia (didukung dengan adanya penyimpanan darah tali pusat), tidak menuntut kecocokan HLA atau Human Leukocyte Antigen (dengan perbedaan HLA maksimal dua), resiko kontaminasi virus dan penyakit menular yang lebih rendah, berpotensi mengurangi adanya penolakan serta penyakit lain akibat respon sistem imun setelah transplantasi atau dikenal dengan istilah Graft-versus-host-diseases (GVHD).
Lebih dari seribu kasus terapi darah tali pusat telah dilakukan pada pasien yang menderita penyakit ganas (misalnya kanker darah, neuroblastoma, dan lain-lain) maupun penyakit tidak ganas (misalnya anemia akut, osteopetrosis, kelainan sistem imun, thalassemia, dan lain-lain). Terkait dengan uji klinis yang telah dilakukan oleh berbagai peneliti, terdapat beberapa karakteristik yang harus diperhatikan. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kelangsungan hidup pasien dan kelangsungan hidup pasien bebas penyakit serta pembentukan sel baru (terutama pembentukan neutrofil dan platelet). Adapun karakteristik yang diperhatikan meliputi kondisi pasien, meliputi usia, berat badan dan jenis penyakit dan karakteristik darah dari donor, meliputi kecocokan HLA dan jumlah sel berinti yang ditransplantasikan.
Beberapa uji klinis telah dilakukan di Placental Blood Program at the New York Blood Center, Eurocord Registry, Duke University dan University of Missesota. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa dosis atau jumlah sel berinti yang digunakan dalam terapi akan mempengaruhi proses pembentukan sel baru pada pasien. Banyak data penelitian tentang dosis atau jumlah sel berinti dimana pasien dewasa yang ditransplantasi kurang dari 1.5 x 107/kg berat badan memiliki tingkat keberlangsungan hidup yang rendah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dosis atau jumlah sel berinti dengan proses engraftment atau pembentukan sel baru pada pasien sangat mempengaruhi keberhasilan terapi. Oleh karena itu, dosis dan jumlah sel yang digunakan harus disesuaikan dengan usia dari pasien. Namun, hal ini juga tidak terlepas dengan usia jenis dan keganasan dari penyakit yang diterapi. Begitu halnya dengan kecocokan HLA, kecocokan identik dari HLA antara donor dan pasien (masih memiliki hubungan keluarga) menunjukkan terjadinya resiko penolakan dan GVHD akut dan kronis yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi menggunakan sumsum tulang (meskipun memiliki kecocokan HLA yang identik juga).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka ProSTEM menetapkan batasan jumlah sel berinti yang dapat disimpan adalah 20 x 107 sel, sehingga diharapkan dapat mendukung kesuksesan transplantasi yang akan dilakukan.
References
Fasouliotis, S. J., J. G. Schenker. 2000. Human umbilical cord blood banking and transplantation: a state of the art. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol., 90:13-25.
Ballen, K., H. E. Broxmeyer, J. McCullough, W. Piaciabello, P. Rebulla, C. M. Verfaillie, J. E. Wagner. 2001. Current Status of Cord Blood Banking and Transplantation in the United States and Europe. Biology of Blood and Marrow Transplantation, 7:635-645.
Harris, D. T. 2008. Collection, Processing, and Banking of Umbilical Cord Blood Stem Cells for Clinical Use in Transplantation and Regenerative Medicine. LABMEDICINE, 39(3): 173-178. DOI: 10.1309/64QG394K1M639L8A.