Autism spectrum disorder (ASD) merupakan kelainan perkembangan saraf yang menarik untuk dipelajari bagi para medis dan peneliti karena sifat multifaktorialnya dan banyak penjelasan berbeda terhadap heterogenitas klinisnya. Pasien ASD menunjukkan kelompok gangguan yang sangat beragam dengan variasi gejala, tingkat intelektual, keparahan dan kecacatan fungsional yang beragam (Siniscalco et al., 2018). Sampai saat ini, belum ada terapi yang dapat mengobati ASD secara tepat, melainkan hanya memperbaiki gejala perilaku. Beberapa terapi yang sudah dilakukan berdasarkan dari gejala yang timbul yaitu mencakup terapi perilaku, terapi bahasa, atau dengan obat-obatan farmakologi seperti antipsychotics, risperidone dan aripiprazole (Forest & Gallicchio, 2020). Pengembangan terapi baru mungkin terbukti menjadi intervensi utama untuk perbaikan berkelanjutan gejala ASD. Diantara terapi baru yang tersedia saat ini, terdapat terapi gen dan terapi sel punca yang memiliki potensi besar untuk mengobati ASD (Siniscalco et al., 2018).
Terapi sel punca yang diterapkan saat ini pada manusia semakin meningkat. Beberapa masih dalam uji klinis yang berjalan dalam pengawasan peraturan konvensional. Dalam beberapa tahun terakhir, ASD telah masuk ke dalam daftar penyakit untuk dilakukan terapi sel yang dianggap cocok oleh beberapa orang. Sejumlah penelitian dengan pilihan jenis sel dan cara pemberian yang bervariasi telah diperoleh hasil beserta laporan datanya (Price, 2020).
Inflamasi pada otak mungkin berkaitan dengan patogenesis gangguan neuropsikiatri seperti ASD. Hal tersebut dibuktikan melalui temuan yang menunjukkan adanya inflamasi neurologis, termasuk pembentukan fiber saraf, peningkatan oxidative stress (radikal bebas), apoptosis (kematian) sel, dan tingginya sekresi produk pemecahan protein amiloid. Hubungan antara inflamasi dan autism dibuktikan lebih lanjut dalam sebuah penelitian, dimana anak-anak dengan ASD ditemukan memiliki skor lebih tinggi dibandingkan anak-anak neurotipikal berdasarkan pengukuran macrophage-derived chemokine (MDC) dan thymus and activation-regulated chemokine (TARC). Mesenchymal stem cells (MSCs) merupakan salah satu jenis sel yang memiliki peran dalam memodulasi imun dan anti inflamasi yang aman digunakan dalam pengobatan beberapa jenis gangguan neurologis dan autoimun. Umumnya, MSCs yang berasal dari jaringan tali pusat atau umbilical cord memungkinkan memiliki aktivitas modulator imun dan kapasitas proliferatif yang lebih besar dibandingkan dengan sumber lainnya (Riordan et al., 2019).
Berdasarkan hasil dari uji klinis, terapi sel punca baik menggunakan MSCs dan mononuclear cells (MNCs) dinyatakan aman dan memiliki efek yang cukup baik. Saat ini, terapi tersebut tidak menunjukkan adanya efek samping yang merugikan pasien. Selain itu, terdapat beberapa yang mengalami berkurangnya gejala pada terapi tersebut. Setelah transplantasi, MSCs dapat bermigrasi ke lokasi jaringan yang cedera dan daerah inflamasi. Meskipun demikian, masih banyak diperlukannya penelitian mengenai etiologi ASD dan mekanisme terapi sel punca agar dapat benar-benar memahami pemanfaatan terapi sel punca untuk ASD (Forest & Gallicchio, Â 2020)
Referensi:
Forest ED, Gallicchio VS. 2020. The effect of stem cell therapy in autism spectrum disorder. Journal of Regenerative Biology and Medicine. 2(5): 042
Price J. 2020. Cell therapy approaches to autism: a review of clinical trial data. Molecular Autism. 11: 37.
Riordan NH, Hincapie ML, Morales I, Fernandez G, Allen N, Leu C, et al. 2019. Allogeneic human umbilical cord mesenchymal stem cells for the treatment of autism spectrum disorder in children: safety profile and effect on cytokine levels. Stem Cells Translational Medicine. 8: 1008-1016.
Siniscalco D, Kannan S, Hernandez NS, Eshraghi AA, Brigida AL, Antonucci N. 2018. Stem cell therapy in autism: recent insights. Stem Cells and Cloning: Advances and Applications. 11: 55-67.