Transplantasi sel punca hematopoietik secara alogenik saat ini telah banyak dilakukan dan menjadi pilihan terapi untuk mengatasi beberapa penyakit baik dalam keganasan hematologi maupun penyakit yang tidak ganas[1]. Transplantasi secara alogenik dilakukan dengan menggunakan sel punca donor yang berasal dari orang lain. Tingkat keberhasilan transplantasi alogenik ditentukan oleh kecocokan Human Leukocyte Antigen (HLA) dari donor dengan pasien penerima donor[2].
Human Leukocyte antigen (HLA) merupakan protein atau penanda yang banyak ditemukan pada sel tubuh manusia, yang digunakan dalam pencocokan antara donor dan resipien ketika melakukan transplantasi[3]. Terdiri dua jenis kelas HLA, yaitu HLA kelas I dan HLA kelas II. Molekul HLA kelas I meiliki lokus A, B, dan C, sementara molekul HLA kelas II memiliki lokus DP, DQ, dan DR.Masing-masing sumber sel punca memiliki karakteristik ekspresi HLA yang berbeda. Sel punca darah tali pusat memiliki ekspresi HLA yang lebih rendahdibandingkan HLA sumsum tulang dan darah tepi[4,5].Pada donor sel punca yang berasal dari sumsum tulang maupun sel punca yang berasal dari darah tepi dibutuhkan kecocokan minimal 6 dari 8 lokus HLA, yaitu HLA -A, -B, -C, dan – DRB1. Pada donor sel punca darah tali pusat dibutuhkan kecocokan minimal 4 dari 6 lokus HLA –A, -B, dan -DRB1[3].
Ketika transplantasi dilakukan secara alogenik, tentu saja terjadi perbedaan HLA dari donor dan resipien. Hal tersebut menyebabkan sistem imun tubuh resipien akan menggunakan penanda HLA untuk mengenali sel-sel mana yang termasuk sel tubuh sendiri dan sel mana yang ditransplantasikan sebagai non-self antigen (antigen asing) yang berasal dari donor, sehingga seringkali mengakibatkan rejeksi atau penolakan pada saat transplantasi[6]. Penolakan sistem imun dapat berupa kerusakan sel atau jaringan transplan dan kerusakan dapat berlangsung cepat dan sangat kuat (penolakan akut) yaitu beberapa minggu bahkan beberapa hari setelah transplantasi ataupun kerusakan terjadi lebih ringan, namun berlangsung dalam waktu lebih lama (penolakan kronik)[7].
Kecocokan HLA sangat penting dibutuhkan dalam menentukan kesuksesan transplantasi. Untuk itu penentuan tipe HLA perlu dilakukan untuk menentukan donor yang tepat dengan tingkat kecocokan tipe HLA yang semirip mungkin antara pasien dan donor. Pemeriksaan HLA dapat dilakukan baik dengan cara serologi ataupun molekular (dengan amplifikasi DNA)[8].
Reference :
- Milano F and Boelens JJ. Stem cell comparison: what can we learn clinically from unrelated cordblood transplantation as an alternative stem cell source?. Cytotherapy, 2015; 17: 695–701
- Effie W. HLA matching in allogeneic stem cell transplantation. Hematology, 2004 ; 11(6) : 386 – 39
- Bethematch.org. HLA Matching [internet]. [cited 2015 18 August]. Available from : https://bethematch.org/For-Patients-and-Families/Finding-a-donor/HLA-matching/
- Kern S, Eichler H, Stoeve J, Kluter H, Bieback K. Comparative analysis of mesenchymal stem cells from bone marrow, umbilical cord blood, or adipose tissue. Stem Cellss. 2006; 24(5) :1294-1301
- Malgieri A, Kantzari E, Patrizi MP, and Gambardella S. Bone marrow and umbilical cord blood human mesenchymal stem cells: state of the art. Int J Clin Exp Med. 2010; 3(4) : 248–269
- Smith S. Rejection : The Allogeneic Imune Response. 2002. [cited 2015 18 August]. Available from : http://www.medscape.com/viewarticle/436533_12
- Janeway CA, Travers P, Walport M et.al. Immunobiology: The Immune System in Health and Disease. 5th edition.New York: Garland Science; 2001
- Paunic V, Gragert L, Madbouly A, Freeman J, and Maiers M. Measuring Ambiguity in HLA Typing Methods. PLoS One. 2012; 7(8)