Pernah mendengar tentang thalasemia?
Atau terkadang kita sering mendengar teman atau kerabat yang dirawat dirumah sakit dan membutuhkan darah untuk transfusi secara rutin? Mungkin disebagian orang thalasemia kurang popular, tetapi bukan berarti disekitar kita tidak ada penderita penyakit tersebut. Tahukah anda bahwa di Indonesia memiliki potensi thalasemia 6-10 %. Sebelum mengenali lebih jauh tentang terapi Thalasemia, kita bahas terlebih dahulu, apa itu Thalasemia?

Thalasemia adalah penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orang tua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan. Penderita thalasemia akan mengalami ketidakseimbangan dalam produksi dan hemolisis (penghancuran) pada hemoglobin (Hb). Hemoglobin adalah komponen sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan pemberi warna merah pada sel darah merah. Secara tidak langsung, adanya gangguan pada produksi hemoglobin akan memengaruhi umur sel darah merah (kurang dari 120 hari) sehingga proses pengangkutan oksigen berkurang dan berujung dengan anemia (kekurangan darah) (1, 2).

 

Bagaimana kita mengetahui seseorang penderita Thalasemia?

Terdapat beberapa tipe thalasemia diantaranya; thalasemia alpha, thalasemia beta dan hemoglobin varian. Tipe thalasemia dibedakan berdasarkan tingkat keparahan atau kerusakan gen yang berperan dalam pembentukan rantai alfa dan beta pada hemoglobin. Selain itu, gejala yang ditunjukkan juga berbeda-beda dari tanpa gejala (seakan normal), pembesaran limpa dan perubahan bentuk wajah (facies cooley’s), anemia (kekurangan darah) hingga penderita membutuhkan transfusi darah seumur hidup (1, 2).

 

Terapi apa yang dilakukan untuk penderita Thalasemia?

Terapi untuk penderita Thalasemia biasanya transfusi darah dan cangkok sumsum tulang. Tranfusi darah pada penderita thalasemia berbeda-beda, tergantung dengan tingkat keparahan anemianya. Umumnya untuk penderita thalasemia yang parah harus menjalani transfusi darah setiap 2-3 minggu sekali dan biasanya transfusi darah harus dijalani sebelum ulang tahun kedua. Namun, transfusi darah yang dilakukan secara berulang kali pada penderita thalasemia dapat mengakibatkan kondisi kelebihan zat besi (iron-overload). Kondisi ini menyebabkan hati dan limpa membengkak sehingga perut menjadi buncit. Selain itu, penderita thalasemia juga harus menjalani terapi khelasi (chelation therapy) untuk mengatasi kelebihan zat besi tersebut. Pemantaun secara rutin pada penderita thalasemia juga diperlukan untuk memantau kondisi fungsi jantung, paru-paru, hati, tulang, kelenjar endokrin dan pankreas. Sedangkan cangkok sumsum tulang perlu kecocokan sumsum tulang dari donor dengan penderita dan biaya yang cukup mahal, meskipun menjadi pilihan terbaik dibandingkan transfusi darah dan terapi khelasi yang merepotkan (1, 2).

 

Apakah Penderita Thalasemia bisa disembuhkan?

Kini, dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan telah banyak dilakukan uji klinis dalam penggunaan sel punca dari darah tali pusat dilakukan. Penggunaan sel punca dari darah tali pusat tidak menuntut kecocokan seperti pada cangkok sumsum tulang (minimal terdapat dua perbedaan pada pengkode HLA atau Human Leukocyte Antigen) dan resiko penolakan yang lebih rendah dibandingkan cangkok sumsum tulang (3, 4, 5).

 

Apakah dengan stem cell dapat menyembuhkan Thalasemia?

Beberapa hasil uji klinis transplantasi terhadap sel punca dari darah tali pusat menunjukkan bahwa hasil yang baik. Dimana pasien thalasemia yang menerima donor sel punca darah tali pusat meskipun memiliki perbedaan HLA tetap dapat bertahan hidup selama lima tahun dan sebagian bebas dari thalasemia setelah tranplantasi sel punca yang pertamai. Selain itu, engrafment (pembentukan sel darah baru setelah transplantasi) juga berjalan dengan baik. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk dapat memastikan keamanan dan keberhasilan terapi sel punca darah tali pusat untuk penderita thalasemia (3, 4, 5).

 

Daftar Pustaka

  1. Thalasemia. 2014. Thalasemia. www.thalasemia.org.
  2. DokterSehat. 2013. Apakah Thalassemia Itu. www.doktersehat.com.
  3. Locatelli, F., V. Rocha, W. Reed, F. Bernaudin, M. Ertem, S. Grafakos, B. Brichard, X. Li, A. Nagler, G. Giorgiani, P. R. Haut, J. A. Brochstein, D. J. Nugent, J. Blatt, P. Woodard, J. Kurtzberg, C. M. Rubin, R. Miniero, P. Lutz, T. Raja, I. Roberts, A. M. Will, I. Yaniv, C. Vermylen, N. Tannoia, F. Garnier, I. Ionescu, M. C. Walters, B. H. Lubin, E. Gluckman. 2003. Related Umbilical Cord Blood Transplantation in Patients with Thalassemia and Sickle Cell Disease. Blood, 101: 2137-2143. DOI 10.1182/blood-2002-07-2090.
  4. Ruggeri, A., M. Eapen, A. Scaravadou, M. S. Cairo, M. Bhatia, J. Kurtzberg, J. R. Wingard, A. Fasth, L. Lo Nigro, M. Ayas, D. Purtill, K. Boudjedir, W. Chaves, M. C. Walters, J. Wagner, E. Gluckman, V. Rocha. 2011. Umbilical Cord Blood Transplantation for Children with Thalassemia and Sickle Cell Disease. Biology of Blood and Marrow Transplantation, 17(9): 1375–1382. doi:10.1016/j.bbmt.2011.01.012.
  5. Jaing, T-H, I-J Hung, C-P Yang, S-H Chen, H-T Chung, P-K Tsay, Y-C Wen. 2012. Unrelated Cord Blood Transplantation for Thalassaemia: A Single-Institution Experience of 35 Patients. Bone   Marrow   Transplantation, 47:   33–39. doi:10.1038/bmt.2011.39.